Welcome to Visit Site Radar Walak Papua Network
Home » » PETAPA: Bukan Milisi Juga Bukan Tentara

PETAPA: Bukan Milisi Juga Bukan Tentara

Written By MELANESIA POST on Senin, 18 November 2013 | 11/18/2013 04:30:00 AM

PETAPA: Bukan Milisi Juga Bukan Tentara

Peronil Petapa saat mengikuti upaya Apel di Kabupaten Jayapura beberapa waktu lalu. (Foto/JUBI/Musa Abubar)
Tidak ada senjata di tangan. Ruang lingkup kerja hanya  menjaga hak-hak masyarakat  adat  di  Tanah Papua.

JUBI — Di bawah guyuran gerimis hujan, Jumat (3/9) lalu, sedikitnya 500 orang tetap berdiri tegak mengikuti upacara yang digelar Dewan Adat Papua (DAP), di Lapangan Sepabola Kampung Dosay, Distrik Sentani Barat, Kabupaten Jayapura. Cuaca saat itu memang tak bersahabat.

Diawal pelaksanaan upacara, awan biru berubah warna menjadi gelap dan tak lama kemudian hujan deras. Meski demikian, masyarakat dan pasukan berseragam biru itu dengan setia mengikuti jalannya upacara.
Puluhan warga berdatangan dari berbagai daerah. Ada yang dari Arso, Genyem, Depapre, Tanah Merah, Base G dan Tanjung Ria di Jayapura. Mereka datang untuk menyaksikan upacara gelar personil Penjaga Tanah Papua (Petapa) bentukan DAP.

DAP menganggap sangat penting menjaga keamanan di Tanah Papua. Karena itu, Petapa dibentuk. “Papua sampai sekarang belum aman. Keamanan bagi rakyat belum terjamin. Begitupun pengamanan terhadap kekayaan alam Papua,” kata Ketua DAP, Forkorus Yoboisembut.

Ia menyebut konflik di Papua tidak hanya tindak kekerasan, penganiayaan dan penembakan terhadap warga sipil. Penebangan hutan, pengambilan emas dan kekayaan alam lainnya masih terus terjadi. “Termasuk pengabaian hak-hak dasar Orang Papua. Ruang menyampaikan pendapat dibungkam, bahkan selalu distigma sebagai separatis karena melawan negara.”
Dalam dinamika kehidupan sehari-hari selama ini, Forkorus melihat kecenderungan tidak saling hargai menghargai sesama. Salin tuding menuding dan menyalahkan satu sama lain justru semakin menginjak harkat dan martabat Orang Asli Papua. “Tak pernah ada niat untuk melakukan perbaikan, terkesan ada proses pembiaraan,” katanya. Hal ini secara tidak langsung memaksa DAP untuk terus mencari solusi. Salah satunya membentuk Petapa agar menjaga tanah dan negeri kaya raya ini.

“Petapa dibentuk untuk menjaga perdamaian di Papua. Rumus dari perdamaian itu adalah menghargai hak-hak orang lain. Jika tidak menghargai orang lain, maka sekecil dan sebesar apapun haknya adalah awal dari penderitaan. Intinya, harus menghargai dan menghormati hak-hak sesama manusia,” tandasnya.
Wacana tentang perdamaian, kata Forkorus, sudah lazim dibicarakan. Tapi, sulit diwujudkan. Karena itu, Petapa dibentuk untuk mewujudkan perdamaian bagi semua orang yang hidup di Tanah Papua.

Ia berargumen, menghargai dan menghormati orang lain berarti sudah menghargai dan menghormati orang lain. Menjaga diri merupakan langkah awal menjaga orang lain, termasuk hak-hak asasi, hak atas sumber daya alam dan hak politik. “Selama itu tidak ada, perdamaian tidak bisa tercipta,” ujar Forkorus.
Cara Orang Papua menghargai dan menghormati kerapkali dianggap hal biasa. Itu berarti belum ada perdamaian secara hakiki di atas tanah ini. Untuk itu, ia berharap lembaga pemerintahan, pengusaha maupun instansi terkait harus menghargai hak-hak Orang Asli Papua. “Hak politik Orang Papua juga harus dihargai,” tegasnya.

Petapa hadir di seluruh Papua. Setiap daerah dipimpin seorang koordinator wilayah. Anggota Petapa berada dibawah aturan adat. ”Secara adat dan tradisi Orang Papua, Petapa ada di kampung-kampung dibawah Ondoafi atau Kepala Suku. Aturan seperti itu berlaku sejak dulu, meski ada sedikit perubahan,” kata Forkorus berkilah.

Di Biak, misalnya, dibina oleh Mambri. Setelah mendapat pembinaan, ditugaskan dalam suku dan kampungnya. Tugasnya, menjaga rakyat di kampung. Juga menjaga tanah, hutan dan kekayaan alam. Selain itu, pasukan berbaju biru menjaga pemimpinnya.
Upacara tersebut rencananya akan dihadiri 100 orang perwakilan dari berbagai daerah. Tapi karena keterbatasan dana, Petapa di daerah seperti Sorong, Manokwari dan Biak melakukan upacara serupa di masing-masing daerah.

Menurut Forkorus, pembentukan Petapa dan dalam operasionalnya tidak mendapat sokongan dari pemerintah. “Semua karena inisiatif pribadi mereka. Biaya juga ditanggung sendiri,” jelasnya.
Saat upacara, Forkorus memaparkan tugas anggota Petapa. Yakni menghargai dan menghormati hak-hak orang lain. Hal ini merupakan amanat dari deklarasi pertama kali dalam sebuah Konferensi Aasyarakat Adat Papua di Sentani, tahun 2004. “Dulu memang belum ada nama. Tapi DAP dan sejumlah tokoh mengajukan beberapa nama. Kami sepakat Petapa cocok untuk digunakan sesuai dengan budaya orang Papua.”
Polisi Adat dan Penjaga Dusun Adat Papua (Pedupa) adalah dua nama diantaranya yang sempat diusulkan. Polisi Adat diusulkan DAP sambil masih mencari format nama yang pas. Nama Pedupa disepakati dan digunakan kala itu. “Selanjutnya, dalam rapat kerja DAP di Biak pada Tahun 2006, nama Pedupa diubah menjadi Petapa dan nama ini yang dipakai sampai saat ini,” jelas Forkorus Yoboisembut.

DAP berprinsip, dari dari pada mendatangkan orang lain untuk menjaga keamanan lebih baik berusaha menjaga diri sendiri. Ini dianggap solusi atas realita selama ini, sehingga anggota Petapa diwajibkan untuk dibina dengan baik. Pembinaan bukan diarahkan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan norma-norma adat, misalnya kekerasan dan lain sebagainya, melainkan menjaga keamanan dan kenyamanan masyarakat. “Kalau sampai bikin gerakan tambahan, itu sudah mencoreng nama baik dan melanggar adat. Jadi, dihukum dan pecat saja dari keanggotaan Petapa,” tegas Forkorus.

Terianus Satto, Koordinator Petapa Wilayah Mamberamo Tami (Mamta), mengaku telah diberi kewenangan untuk mengkoordinir semua proses pengamanan dalam kerangka membangun proses demokrasi. “Tidak ada kekerasan. Pengamanan berlaku bagi semua pihak, termasuk amber yang ada di Papua,” katanya.
Pengamanan, imbuh Satto, tidak memihak siapapun. Ini satu proses panjang untuk menjaga tanah ini aman dan damai. “Ketua DAP sudah tegaskan bahwa tidak perlu ada penilaian berlebihan, tidak perlu curiga dengan terbentuknya Petapa. Sebagai anak adat Papua, Petapa tidak bisa keluar dari koridor DAP. Kita tetap patuh pada aturan,” tutur Terianus.

Ini berlaku bagi anggota Petapa di berbagai daerah di Tanah Papua. Koordinator Wilayah Petapa memiliki tugas yang sama. “Intinya, Petapa hanya mau menjaga daerah ini aman,” cetus Terianus.
Enos Sembay, Anggota Petapa, berjanji akan menjaga kekayaan di dusunnya. Menjaga masyarakat di daerah asal agar tetap hidup rukun dan damai. “Tanggungjawab moril bagi saya untuk memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat yang selalu terabaikan. Juga menjaga dusun kami,” ucapnya.

Meski agak sulit diwujudkan dalam waktu cepat, karena berbagai ketimpangan berakar kuat dan masyarakat masih trauma, namun Enos yakin lambat laun hal itu akan teratasi. Dengan memberikan pemahaman yang baik, setiap insan akan menyadari pentingnya menciptakan damai diantara sesama ciptaan Tuhan.

Dalam menjaga keamanan, tegas Forkorus, Petapa membangun relasi dengan pihak keamanan: TNI dan Polri. Dengan kerja sama yang baik, sedapat mungkin meminimalisir tindak kekerasan dan konflik yang selama ini tak ada habisnya di Tanah Papua. (JUBI/Musa Abubar)
Share this article :

0 komentar: